
PURWAKARTA– Suasana Pondok Pesantren Al-Muhajirin 3 pada Rabu, 03 Desember 2025 tampak penuh ketenangan. Para santri putra dan putri duduk berbaris rapi, mushaf dan kitab terbuka di hadapan mereka, menyimak dengan saksama kajian rutin kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim bersama Syaikhuna Prof. Dr. KH. Abun Bunyamin, MA. Kajian kali ini memasuki pembahasan penting: Adab guru terhadap dirinya sendiri—sebuah fondasi yang akan menentukan kemuliaan ilmu serta keberkahan proses belajar mengajar.
Di awal kajian, Syaikhuna menyampaikan pandangan Imam Syafi‘i mengenai kewajiban seorang penuntut ilmu—lebih-lebih seorang guru—untuk bersungguh-sungguh menambah ilmu, sabar dalam ujian belajar, dan menjaga keikhlasan hanya untuk Allah SWT. Ilmu bukan sekadar hafalan teks, melainkan pemahaman mendalam yang lahir dari analisis, perenungan, dan doa yang tidak pernah putus.
Beliau kemudian membacakan hadits Rasulullah SAW:
“Semangatlah dalam mencari hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allah.”
Hadits ini menjadi dorongan agar guru tidak berhenti belajar dan tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah dimiliki. Sebab, sebagaimana disampaikan Said bin Jubair, seorang alim adalah ia yang terus belajar. Ketika seseorang berhenti belajar karena merasa sudah cukup, maka saat itulah kebodohan mulai menguasainya.
Kajian juga menyoroti sikap tawadhu seorang guru. Dalam tradisi ulama, guru yang mulia tidak malu bertanya kepada muridnya apabila murid tersebut memiliki ilmu dalam bidang tertentu. Ilmu adalah harta hilang orang beriman—siapa pun yang menemukannya berhak mengambilnya, sekalipun melalui seseorang yang lebih muda, lebih rendah nasabnya, bahkan seorang murid.
Syaikhuna menuturkan kisah para ulama yang memberi teladan adab intelektual. Di antaranya:
- Sekelompok ulama salaf pernah belajar kepada murid-murid mereka dalam perkara yang belum mereka ketahui.
- Para sahabat meriwayatkan hadits dari para tabi‘in.
- Bahkan Rasulullah SAW pernah membaca ayat Al-Qur’an di hadapan sahabat Ubay bin Ka‘ab sesuai perintah Allah—sebagai isyarat bahwa kemuliaan tidak menghalangi seseorang untuk belajar dari yang lebih rendah darinya.
- Al-Humaidi, murid Imam Syafi‘i, menceritakan bagaimana gurunya menimba ilmu fikih darinya, sementara beliau belajar hadits kepada ulama lain, termasuk kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Sikap saling belajar ini menunjukkan kerendahan hati sebagai pintu keluasan ilmu.
“Tanda orang alim adalah terus belajar. Diam terhadap kebodohan diri adalah kebutaan hakiki,” demikian pesan salah seorang ulama Arab terdahulu yang kembali dihidupkan dalam majelis itu.
Kajian ditutup dengan doa dan pesan agar santri maupun guru senantiasa memperbaiki adab sebelum memperbanyak ilmu. Sebab keberkahan ilmu tidak hanya bertumpu pada kecerdasan, tetapi pada kerendahan hati, keikhlasan, dan kegigihan dalam mencarinya.
Pengajian mingguan di Al-Muhajirin 3 kembali menjadi ruang penyubur jiwa dan pemantik semangat bahwa menuntut ilmu adalah perjalanan tanpa garis akhir. Wallahu A‘lam. (*)
