Pidato Puncak Hari Santri di Al-Muhajirin, Kang Dedi Mulyadi: Orang Berilmu Tidak Mesti Badannya Ditegakkan, Justru dengan Dibungkukkan Terlihat Keilmuannya

Bagikan artikel ini:
Kang Dedi Mulyadi menyapa KH Abun Bunyamin dan hadirin. Kang Dedi menyampaikan pesan budaya dan keislaman dalam acara Silaturahmi dan Dialog Keluarga Besar PWNU Jawa Barat di Aula Masjid Al-Madinah, Kampus II Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Rabu malam (22/10/2025). Acara tersebut digelar dalam rangka Puncak Peringatan Hari Santri Nasional 2025 dan dihadiri ribuan santri, para ulama, kiai, forkopimda, serta tokoh Nahdlatul Ulama se-Jawa Barat.

PURWAKARTA — Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) menyampaikan pidato sambutan dalam acara Puncak Hari Santri Nasional (HSN) 2025 yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulam (PWNU) Jawa Barat di Aula Masjid Al-Madinah, Kampus II Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Rabu malam (22/10).

Dalam sambutannya, Kang Dedi menyampaikan pentingnya kultur sebagai kekuatan utama bangsa Indonesia sekaligus ciri khas Islam di Nusantara.

“Saya selalu bicara tradisi, bicara kultur, karena itulah yang menjadi pembeda dari negara kita. Apa yang dimiliki oleh bangsa kita ini adalah kultur atau budaya,” ujarnya di hadapan ribuan santri yang memadati lokasi acara.

Hadir Rois Syuriah PWNU Jabar sekaligus Pimpinan Ponpes Al-Muhajirin Syaikhuna Prof. Dr. KH Abun Bunyamin, Kyai Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq), Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein, dan sejumlah tokoh forkopimda lainnya, serta tokoh Nahdlatul Ulama se-Jawa Barat.

Menurut Kang Dedi, kultur merupakan dasar dalam membangun integritas dan jati diri bangsa.

Karena membangun integritas dan jati diri maka kita menjadi pembeda. Islam di Indonesia adalah Islam yang sangat berbeda. Kang Dedi menilai, keberbedaan tersebut justru menjadi kekuatan yang harus dijaga.

Baca Juga:  Siswa SMI 1-3 Al Muhajirin Fauzan Rahman Hidayat Sukses Harumkan Nama Purwakarta di Pentas PAI Tingkat Jawa Barat

Islam di Indonesia, katanya, telah mencerminkan semangat pluralisme dan rahmatan lil alamin, sehingga berpotensi menjadi rujukan bagi dunia Islam internasional.

“Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana menjadikan Islam yang menjadi kultur di Indonesia justru menjadi rujukan pembelajaran keislaman di seluruh dunia,” ujarnya.

Ia pun menekankan bahwa pesantren-pesantren di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, harus terus memperlihatkan jati dirinya tanpa terpengaruh oleh gaya luar.

“Kalau pesantren kita terbawa arus gaya orang lain, terus-terusan kita yang harus belajar ke tempat orang lain, maka kita akan kehilangan kepercayaan diri. Tapi kalau kita yakin pada sejarah dan keberagaman kita, pesantren-pesantren kita justru akan jadi tempat rujukan belajar bagi mahasiswa dari seluruh dunia,” ujarnya.

Adab Lebih Tinggi dari Ilmu

Dalam bagian yang paling menyentuh, Kang Dedi menyoroti pentingnya adab dalam kehidupan santri. Pembahasan ini seolah menjawab isu-isu publik soal “badan bungkuk santri” yang belakangan ini diframing secara negatif.

Baca Juga:  SD Plus 3 Al-Muhajirin Purwakarta Gelar Gebyar Maulid Nabi dengan Semarak Perlombaan, 850 Peserta TK/RA se-Purwakarta Ikut Antusias

“Orang berilmu tidak mesti badannya ditegakkan. Justru dengan badannya dibungkukkan, terlihat keilmuannya. Adab lebih tinggi daripada ilmu,” katanya disambut tepuk tangan hadirin.

Ia menjelaskan, sikap hormat, lembut, dan rendah hati yang menjadi tradisi santri bukanlah tanda kelemahan, melainkan cerminan kemuliaan diri.

Beasiswa Santri dan Spirit Kemandirian

Dalam kesempatan tersebut, Kang Dedi juga mengumumkan program Beasiswa Santri dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Program ini ditujukan bagi santri dari keluarga kurang mampu untuk mendapatkan pembiayaan penuh selama mondok — mulai dari makan, minum, hingga kitab-kitab pelajaran.

“Setiap santri yang orang tuanya tidak mampu mendapat pembiayaan selama di pesantren, full makan dan minumnya, dan kitabnya,” terang Kang Dedi.

Ia menegaskan, Hari Santri harus menjadi momentum bagi pesantren untuk kembali pada jati dirinya, yakni menjaga tradisi, kemandirian, dan keikhlasan.

“Yang membedakan pesantren NU dengan lembaga lain adalah culture — ada pencak silat, tradisi masak, mencuci baju sendiri. Culture kemandirian santri jangan hilang,” pesannya.

Baca Juga:  STAI Al-Muhajirin Purwakarta Gelar Studium Generale Bertema Tantangan dan Peluang Ekonomi Islam di Era Digital

Dengan gaya khas Sunda, ia menutup pesannya dengan pepatah lokal,

“Lamun hayang menang perah kudu perih, kuru cileuh kentel peujit,” yang berarti siapa yang ingin berhasil harus bersabar dan berjuang keras.

Kang Dedi juga mengingatkan pentingnya tirakat sebagai bagian dari pendidikan spiritual santri.

“Kalau di sekolah umum tidak ada tradisi puasa Senin-Kamis, di pesantren harus ada. Bedanya santri dengan yang lain adalah kemampuan bertirakat, karena kelebihan santri adalah diminta doa oleh orang lain,” ujarnya.

Acara Puncak Hari Santri Nasional 2025 di Al-Muhajirin juga dihadiri oleh ulama kharismatik KH Ahmad Muwafiq (Gus Muwafiq) yang memberikan mauizhah hasanah,.

Dengan semangat Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Mulia, resepsi HSN 2025 di Purwakarta menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali peran santri sebagai penjaga moral bangsa dan penggerak peradaban. (*)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *