Syaikhuna Ajak Jamaah Lakukan Muhasabah Lewat Kualitas Salat

Bagikan artikel ini:
Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta Syaikhuna Dr. KH. Abun Bunyamin, MA

PURWAKARTA — Dalam kajian terbaru yang disampaikan oleh Syaikhuna Dr. KH. Abun Bunyamin, MA, para jamaah dan santri Pondok Pesantren Al-Muhajirin diajak untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri melalui kualitas salat yang mereka kerjakan.

Kajian tersebut mengangkat tema penting mengenai bagaimana seseorang dapat menilai kedudukannya di sisi Allah melalui indikator salatnya.

Dalam pemaparannya, Syaikhuna mengawali dengan firman Allah dalam Surah Al-Kahf ayat 28 yang menegaskan pentingnya bersabar dalam beribadah bersama orang-orang yang ikhlas mencari ridha Allah, serta menjauhi mereka yang lalai dari mengingat-Nya.

Ayat ini menjadi landasan bahwa perjalanan spiritual seorang hamba selalu membutuhkan kesungguhan dan keteguhan hati.

Syaikhuna kemudian mengutip nasihat Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili yang terekam dalam kitab Tāj al-‘Arūs al-Ḥāwī fī Tahdzīb an-Nufūs, yang menyatakan bahwa salat adalah cermin diri seorang hamba.

Baca Juga:  SDS Plus 2 Al-Muhajirin Buka PPDB 2026: Sekolah Karakter Unggulan dengan Program Internasional dan Fasilitas Modern

Jika salat mampu menahan seseorang dari hawa nafsu, maka ia telah meraih kebahagiaan. Namun jika salat tidak membekas dalam perilaku, maka itu tanda bahwa hatinya perlu disembuhkan dengan taubat dan muhasabah mendalam.

Dalam kajian tersebut juga ditegaskan bahwa salat bukan hanya mencegah perbuatan keji dan munkar, tetapi juga menjadi sumber ketenangan. Rasulullah SAW sendiri bersabda, “Dijadikan penyejuk mataku dalam salat.”

Karena itu, beliau mengingatkan bahwa orang yang terpaksa menyeret kakinya menuju salat perlu bertanya pada dirinya: apakah ia benar-benar mencintai Allah sebagaimana seorang kekasih ingin bertemu kekasihnya?

Baca Juga:  Pondok Pesantren Al-Muhajirin Mengucapkan Selamat Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H

Salat sebagai Ukuran Kedudukan Seorang Hamba
Syaikhuna menjelaskan bahwa siapa pun yang ingin mengetahui bagaimana posisinya di hadapan Allah, hendaknya melihat bagaimana salatnya:

Apakah penuh ketenangan?
Apakah ia khusyuk dalam bacaan dan gerakannya?
Ataukah sebaliknya: lalai, terburu-buru, dan tanpa penghayatan?
“Jika seseorang duduk bersama pemilik minyak kesturi, maka ia akan ikut harum. Begitu pula orang yang salat; sebab salat adalah saat ia ‘duduk’ bersama Allah. Jika salat tidak memberi efek apa pun, itu tanda adanya penyakit hati seperti sombong, ujub, atau kurangnya adab,” tegas Syaikhuna dalam penjelasannya.

Beliau juga memaparkan tanda-tanda orang yang khusyuk dalam salat, di antaranya: gerakan yang tenang, waktu salat yang lebih lama karena dinikmati, anggota badan tertib, serta pemahaman yang baik terhadap bacaan.

Baca Juga:  Al Muhajirin Wujudkan Santri Miliki Pribadi yang Mandiri dan Bermanfaat untuk Masyarakat

Adab Setelah Salat dan Pentingnya Dzikir
Menutup kajian, Syaikhuna mengingatkan bahwa di antara amalan penting yang sering dilupakan adalah dzikir setelah salat.

Berdasarkan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 103, dzikir setelah salat menjadi bagian penyempurna ibadah. Bahkan Rasulullah SAW selalu membaca istighfar tiga kali setelah salat dan melanjutkannya dengan doa: “Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam, tabaarakta ya Dzal-Jalaali wal Ikraam.”

Amalan ini bukan sekadar rutinitas, tetapi bentuk penghormatan atas ibadah yang baru selesai, sekaligus permohonan agar salat diterima Allah SWT. (*)

Bagikan artikel ini:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *