
ANGIN pagi di Lapangan Al-Mukhtar membawa aroma khas seragam pramuka yang baru dijemur, bercampur dengan semangat ratusan santri yang berbaris rapi.
Matahari baru naik, tapi sorot mata mereka sudah penuh rasa penasaran. Hari ini adalah hari yang mereka tunggu-tunggu: Demo Ekstrakurikuler “From Zero to Hero”.
Di antara kerumunan itu, Andri, santri baru kelas X, berdiri sambil menggenggam topi pramukanya. Ia baru sebulan tinggal di asrama, masih mencari-cari tempat untuk menyalurkan bakatnya.
“Kata ustadz, di sini ekskul bukan cuma hobi, tapi bisa jadi jalan sukses. Saya mau lihat dulu, siapa tahu ketemu yang pas,” ujarnya sambil tersenyum.


Sorakan pertama pecah ketika puluhan pesilat perempuan melangkah ke tengah lapangan. Gerakan mereka mantap, selendang berwarna emas melayang-layang di udara, berpadu dengan hentakan kaki yang menggetarkan.
Di ujung pertunjukan, seorang pesilat pria meniupkan semburan api raksasa—membuat Fajar dan teman-temannya menahan napas, lalu bersorak heboh.
Tak lama kemudian, giliran pasukan Pramuka tampil dengan atraksi bendera semaphore. Warna merah dan kuning berkibar berirama, membentuk pesan-pesan yang hanya mereka yang terlatih bisa membacanya.
Di tepi lapangan, Nabila, santri baru lainnya, berbisik ke temannya, “Kayaknya aku mau ikut Pramuka. Subhanallah, kompaknya luar biasa.”


Acara itu dihadiri para tokoh penting Al-Muhajirin. Syaikhuna Prof. Dr. KH. Abun Bunyamin, MA memulai dengan tausiyah yang mengingatkan pentingnya mengisi masa muda dengan kegiatan positif.
Dr. H. Ifa Faizah Rohmah, M.Pd kemudian menyapa santri dengan pesan penuh motivasi:
“Banyak orang sukses memulai dari nol dengan modal hobi. Semua berawal dari apa yang kita cintai. Jalani dengan tekun dan konsisten.”
KH. R. Marpu Muhidin Ilyas, MA menegaskan, “Di sini ada 20 ekstrakurikuler. Salah satunya bisa jadi jalan kalian menuju bintang. Kalau belum ada yang cocok, kalian bisa usulkan, dan kita akan dukung.”
Sepanjang hari, lapangan menjadi panggung bergantian bagi futsal, basket, musik, vokal, robotik, taekwondo, hadroh, tari, seni lukis, kaligrafi, hingga renang.
Santri baru seperti Andri dan Nabila berjalan dari satu stan ke stan lainnya, mencatat, bertanya, dan mencoba.

Menjelang sore, suasana mulai reda, tapi semangat di wajah para santri justru semakin terang.
Mereka kembali ke asrama membawa cerita dan impian baru. Mungkin, di antara mereka, ada yang kelak mengharumkan nama pesantren di tingkat nasional, bahkan internasional.
Hari itu, “From Zero to Hero” bukan sekadar tema acara—tapi janji yang mulai mereka bisikkan pada diri sendiri. Dari nol, menuju panggung kejayaan. (*)