
PURWAKARTA- Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Gus Dur, hingga Kartini tidak hanya dikenang karena gagasan mereka yang revolusioner, tetapi juga karena kemampuan mereka menuliskan ide-ide itu dalam esai.
Esai menjadi medium penting untuk mengungkapkan pemikiran kritis, menggugah kesadaran, dan memantik perubahan.
Dengan menulis esai, seseorang tidak hanya menuangkan opini, tetapi juga membangun argumentasi yang mendalam dan berbobot, yang mampu memengaruhi pembaca.
Sejalan dengan pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis dan menulis ilmiah, SMA MA Al-Muhajirin Pusat kembali mencatat sejarah dengan menyelenggarakan Sidang Esai Santri Kelas 12 pada 20–25 Januari 2025.
Kegiatan ini bukan sekadar ujian akhir, melainkan menjadi bentuk konkret dari visi sekolah sebagai madrasah kader ulama dan institusi pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern.
Oleh karenanya, sidang esai ini didesain dengan memadukan kemampuan akademik dengan pemahaman agama. Setiap esai yang diajukan oleh santri harus dilengkapi dengan interogasi ayat Al-Qur’an atau hadis yang relevan.
Misalnya, dalam esai berjudul “Sehat dengan Rukuk dan Sujud: Perspektif Kesehatan dari Ibadah Salat” yang ditulis oleh Falihah Nailatush Syarifah, santri ini tidak hanya memaparkan manfaat salat dari sisi kesehatan fisik tetapi juga mengaitkannya dengan dalil-dalil agama yang memperkuat analisis ilmiahnya.
Hal ini mencerminkan komitmen SMA MA Al-Muhajirin Purwakarta, sebagai sekolah integrasi ilmu, melahirkan generasi ulama intelektual yang mampu membaca realitas kehidupan melalui ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
Sidang ini tidak seperti ujian sekolah pada umumnya. Setiap santri diwajibkan mempresentasikan esai mereka menggunakan PowerPoint di hadapan para penguji, dengan suasana yang menyerupai sidang skripsi.
Para penguji, yang terdiri dari guru-guru pakar di bidangnya, menilai kedalaman analisis, kemampuan interogasi dalil agama, dan keterampilan presentasi.
Yang membuat sidang ini lebih istimewa adalah kehadiran orang tua santri sebagai saksi langsung. Kehadiran mereka tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga mempererat hubungan antara sekolah, santri, dan keluarga. Salah seorang orang tua, dalam wawancaranya, menyampaikan apresiasi mendalam terhadap program ini.
“Saya sangat terharu melihat anak saya membawakan esainya. Dari awal hingga akhir, saya merasa bangga. Sidang ini menjadi pembuktian bahwa mereka telah matang dalam memahami dan menyelesaikan suatu masalah. Ini akan menjadi bekal yang baik untuk perkuliahan dan masa depan,” ujar salah satu orang tua santri dengan penuh kebanggaan.
Sidang ini menghadirkan ragam topik yang menggugah. Misalnya, Tafli Hunafa Gushady, melalui esainya yang berjudul “Artificial Intelligence sebagai Tantangan Terbesar bagi Industri Musik”, mengupas bagaimana AI menjadi ancaman sekaligus peluang bagi kreator musik di era digital. Di sisi lain, Amelia Anbar Zaenuri melalui esai “Mengapa Kesan Pertama Itu Penting?” memaparkan psikologi interaksi sosial dengan analisis yang mendalam.
Tidak hanya menunjukkan kemampuan analisis yang kritis, esai-esai ini juga mencerminkan keberhasilan sekolah dalam membangun santri yang mampu berpikir multidimensional dan menyuarakan gagasan besar melalui tulisan. (*)